Senin, 27 Oktober 2008

LATAR BELAKANG SEJARAH

* The origin Dayak was the term for the original inhabitants of the Kalimantan island. The Kalimantan island was divided was based on the Administrative territory that arranged his territory respectively consist of: East Kalimantan his capital of Samarinda, South Kalimantan with his capital of Banjarmasin, Central Kalimantan his capital of Palangka Raya, and West Kalimantan his capital of Pontianak. The Suku Dayak group, was divided again in sub-sub the ethnic group that approximately the amount 405 sub (according to J. U. Lontaan, 1975). Respectively sub the Dayak ethnic group in the Kalimantan island had the customs and traditions and the culture that were similar, referred to his social sociology and the difference of the customs and traditions, the culture, and the typical language. The community's past that currently is acknowledged as the Dayak ethnic group, lived in the area of the coastal coast and rivers in each one of their settlements. The ethnic group of Dayak Kalimantan according to a J.U. Lontaan anthropology, 1975 in His book of Hukum Adat and the West Kalimantan Customs And Traditions, consisted of 6 big ethnic groups and 405 sub the small ethnic group, that spread all over Kalimantan. The strength of the urbanisation flow that brought the influence from

They mentioned himself with the group that came from an area was based on the name of the river, the name of the hero, the name of nature et cetera. For example the Iban ethnic group the origin he said from Ivan (in the language kayan, Ivan = the nomad) likewise according to the other source that they mentioned himself by the name of the Batang Lupar ethnic group, because of coming from the Batang Lupar river, the area of the West Kalimantan border with Antimony, Malaysia. The Mualang ethnic group, was taken from the name of a leading figure who was respected (Manok Sabung/the executioner) in Tam -pun Juah and the name this was immortalised to a name of the Ketungau tributary in the area of the Sintang Regency (because of an incident) and afterwards was made the name of the Dayak Mualang ethnic group. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) came from the Hill/the Onion mountain. Likewise the Dayak Kayan origin, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju et cetera, that had the background of the history separately.

However had also the Dayak ethnic group that did not know again the name origin of his ethnic group. The "Dayak" name or the "Power" was the name eksonim (the name that not was given by mayarakat that personally) and not the name endonim (the name that was given by the community personally). Dayak words came from Daya” words that meaning that the upstream, to name the community that lives in the countryside or the Kalimantan interior generally and West Kalimantan especially, (although currently many Dayak communities that settled in the regency city and the province) that had the customs and traditions resemblance and the culture and still held firm his tradition.

Central Kalimantan had the problem of ethnicity that was very different in the West Kalimantan equal. The majority ethnis that lived in Central Kalimantan was ethnis Dayak, that was biggest the Dayak Ngaju ethnic group, Ot Danum, Maanyan, Dusun, etc.. Whereas the religion that was followed by them really variatif. Dayak that was religious Islam in Central Kalimantan, continue to maintained ethnis him Dayak, likewise for Dayak that entered the Christian religion. The original religion the Dayak ethnic group in Central Kalimantan was Kaharingan, that was the original religion that was born from the local culture before the Indonesian nation knew the religion to be first namely Hindu. Because of Hindu has meyebar the area in the world especially Indonesia and more was known to be wide, if compared with the ethnic group's Dayak religion, then the Kaharingan Religion was categorised to the branch of the Hindu religion.

Propinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak,Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka.

Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.

masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana ( Dayak mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat),Jobata,Apet Kuyan'gh(Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.

adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani ke pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena Perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu) ke Agama Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara lainnya.

Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.

Masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang mereka segani.

Tidak ada komentar: